Teori Belajar Behavioristik Berdasarkan Pandangan Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
1.
Mementingkan faktor
lingkungan
2.
Menekankan pada
faktor bagian
3.
Menekankan pada tingkah
laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4.
Sifatnya mekanis
5.
Mementingkan masa
lalu
A. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari
Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku
yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social
Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book
(1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan
respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang
menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan
respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya
perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle
box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons,
perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha
–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error
learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut
hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang
cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu
tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah
dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat
dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut
tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau
“selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara
mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing
tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai
hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus
baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat
digambarkan sebagai berikut:
S R S1 R1 dst
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan,
maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari.
Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu
sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini
diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12
kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar
diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai
berikut :
1.
Hukum Kesiapan(law of
readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan
tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan
jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak.
Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit,
maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa
puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan
bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak
akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak
melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal
ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.
Hukum Latihan (law of
exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) ,
maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan,
tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau
dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah
ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.
Hukum akibat(law of
effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya
menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai
hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung
dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang
diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat
menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah
dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis
gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR
akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya
sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan
perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan
terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).
Selanjutnya
Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a. Hukum Reaksi Bervariasi
(multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan
error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon
yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan
keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun
psikomotornya.
c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah
( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan
respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap
keseluruhan situasi ( respon selektif).
d. Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke
situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
e. Hukum perpindahan Asosiasi (
Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian
teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1.
Hukum latihan ditinggalkan
karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan
stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum
tentu diperlemah.
2.
Hukum akibat
direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan
tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.
Syarat utama terjadinya
hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara
stimulus dan respon.
4.
Akibat suatu perbuatan
dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training,
yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk
memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan
terhadap kucing dengan problem box-nya.
B. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa
tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di
sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan
kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur
departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai
penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel
pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian
sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah
Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Classic conditioning ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah
proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaanny terhadap anjing, dimana
perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara
berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya
sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa
yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun
bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas
atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu
(Bakker, 1985).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan
rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov mengadakan
eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang
memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya,
secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor
anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila
diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut.
Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang
diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan
sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian
dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan
sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnys air liur
pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned
Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih.
Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada
manusia, yang ternyata diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak
disadari manusia.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat
diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi
lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata
air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan
sehar-jhari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara
lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya
mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka
nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang
panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual
berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Contoh
lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di bank.
Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan bunyi-bunyian
dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering lewat di
rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank tanpa
harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi
Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan
pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
C. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan
pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938,
Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam
perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning.
Buku itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun
1946 dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi
dimuat dalam jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang
disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris dengan
pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol
melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat
mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang
bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya
jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara
searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.
Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi
perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada
perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag
tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (
penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut
dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam
kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai
peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu
yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena
dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus
bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol,
makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai
peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner
mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya
adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin
kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa
hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain
menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau
menunjukkan perilaku tidak senang.
Beberapa prinsip Skinner antara lain :
1.
Hasil belajar harus
segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi
penguat.
2.
Proses belajar harus
mengikuti irama dari yang belajar.
3.
Materi pelajaran,
digunakan sistem modul.
4.
Dalam proses
pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah,
untukmenghindari adanya hukuman.
5.
dalam proses
pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6.
Tingkah laku yang
diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan
digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
7.
Dalam pembelajaran
digunakan shaping.
D. Robert Gagne ( 1916-2002).
Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan amerika yang
terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning. Gagne pelopor dalam instruksi pembelajaran yang dipraktekkannya dalam
training pilot AU Amerika. Ia kemudian mengembangkan konsep terpakai dari teori
instruksionalnya untuk mendisain pelatihan berbasis komputer dan belajar
berbasis multi media. Teori Gagne banyak dipakai untuk mendisain software
instruksional.
Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris mendorong guru untuk
merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat
dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan
kemampuan yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan intelektual. Guru harus
mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang
paling sederhana dilanjutnkanpada yanglebih kompleks ( belajar SR, rangkaian
SR, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar
yang lebih tinggi(belajar aturan danpemecahan masalah). Prakteknya gaya belajar
tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus respon.
E. Albert Bandura (1925-masih hidup).
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta
berkebangsaan Kanada. Ia seorang psikolog yang terkenal dengan teori belajar
sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimennya yang sangat
terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak meniru secara persis
perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1. Perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan
karakteristik pengamat.
2. Penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode
pengkodean simbolik.
3. Reprodukdi motorik, mencakup kemampuan fisik,
kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dan
penghargaan terhadap diri sendiri.
Selain itu juga harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan
mempunyai prinsip prinsip sebgai berikut:
1.
Tingkat tertinggi
belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan
mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
2.
Individu lebih
menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
3.
Individu akan
menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan
dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Karena melibatkan
atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka Teori
Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya perilaku
agresi dan penyimpangan psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku.
Teori Bandura
menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan
secara massal.
Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat
yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan pengaruh
lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme
terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e. Mementingkan peranan kemampuan
yang sudah terbentuk sebelumnya
f. Mementingkan pembentukan
kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
g. Hasil belajar yang dicapai adalah
munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks.
Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap
behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat
mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik
mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak
setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan
guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi
behavioristik.
Metode
behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas,
kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa
asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan
sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan,
suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian.
Penerapan teori
behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru
sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru
melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif ,
perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan
guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap
metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
SEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH PEMBELAJARAN
Oleh: Cecep Sabar Gumilar
1.
Pengantar
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang
berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat
radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk
pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu
terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas global
itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi
telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia
tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola
aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk
menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka
membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya
memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan
perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi
social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk
menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada
jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak
berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan
keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper
bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan
bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba
dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan
diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan,
kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma
kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep
konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan
pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan
keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan
pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar.
Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda
dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia
yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan
bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang.
Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada
penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit
menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan
yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit
virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang
mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan
menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari
menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus
terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana
cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting
daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para
individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul
jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian
dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para
individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara
berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus
berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan
kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti
teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan
haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup
secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian.
Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara
tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal
lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini
terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang
studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan
kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah
paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi
secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna
konstruktivistik.
HAKIKAT PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK DAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
a. Hakikat Pembelajaran Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa
belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan
atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil
eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti
kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang
diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat
terbentuk bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi
dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia
baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua
struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut
pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara
stimulus dan respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike
ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13)
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti
hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila
asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan
terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu
pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus
dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2)
Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara
stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin
meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka
kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat
hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur
terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu
penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus,
apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat
meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan
negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung
menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran
Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian
realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun
melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur
kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi
secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang
harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan
siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif
siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium,
diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide
dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar
tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan,
(2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman
social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman
(Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam
Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer,
selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
c. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut:
adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of
envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning).
Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah
ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema
yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi
adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan
diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang
tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dipunyai. Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan
skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang
baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan
struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang
baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang
keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).
Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian
disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti membrikan kepada
seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran
dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan
bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya
pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan.
Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih
tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi
secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh
setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual
dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan
pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses
regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih
menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1),
mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai
proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi
dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai
mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya
membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat
pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi
antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia
berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam
jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal
development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut
seperti pada sekema berikut.
1.
Effective habits of
mind
2.
Cooperative
colaborative
3.
Effective
communication
4.
Information
processing
5.
Complex thinking
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara
social dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman.
Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak
hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman
yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative
learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan
belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja
sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangar kooperatif
dan penataan kelas.
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table
berikut ini.
Tabel 1 Piagetian and Vygotskyan Constructivism
Piagetian Constructivism |
Vygotsky Constructivism |
|
Concept |
constructivism focus on individual cognitive development through
co-constructed learning environments with national, decontextualized thinking
as the goal of development |
Vygotsky, in order to understand human development, a multilevel
analysis using all four levels of history must be employed: sosiocultural
constructivism, |
Subject of Study |
Focus on the development of autonomous cognitive forms within the
individual, culminating in rational thought that is decentered from the
individual. |
argued that individual development cannot be understood without
reference to the interpersonal and institutional surround which situates the
child |
Develop-ment of cognitive forms |
the structure of the mind is the source of our understanding of the
world. |
the construction of knowledge occurs through interaction in the social
world. Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means
of the dialectical relationship between the individual and the social context |
Pembelajaran konstruktivistik dan pembelajaran behavioristik yang
dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan
pembelajaran.
Konstruktivistik |
Behavioristik |
Pengtahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan
tidak menentu. |
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi. |
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah
menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna seta
menghargai ketidakmenentuan. |
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar. |
Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam
menginterpretasikannya. |
Si belajar akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus
dipahami oleh si belajar. |
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek,
atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan
bersifat unik dan individualistic. |
Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan
dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur
pengetahuan. |
Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar
Konstruktivistik |
Behavioristik |
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, |
Keteraturan, kepastian, ketertiban |
Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam
lingkungna belajar. |
Si belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. |
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat
sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. |
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. |
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar
adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan
diri dalam belajar. |
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Si belajar adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan. |
Control belajar dipegang oleh si belajar. |
Control belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si
belajar. |
Table 4 Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan
Pembelajaran
Konstruktivistik |
Behavioristik |
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn
how to learn) |
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan. |
Tabe 5 pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi
pembelajaran
Konstruktivistik |
Behavioristik |
Penyejian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna
mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian. Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau
pandangan si belajar. Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan
manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis. Pembelajaran menekankan pada proses. |
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan
pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks. Pembelajaran menekankan pada hasil |
Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik |
Behavioristik |
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan
keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata. Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda,
bukan hanya satu jawaban benar Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan
tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan
apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad
aketerampilan proses dalam kelompok. |
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah,
dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’ Evaluasi yang menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan
bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan
penekanan pada evaluasi individual. |
d. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah dikemukakan di atas
maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model pembelajaran konstruktivis di
kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap
lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya
miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini
dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan
dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan
mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk
membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun
agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar
dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama.
Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak
khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan
terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap
konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang
bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi
direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal.
Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan
atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil
percobaan dan memberikan alas an untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik
kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan
mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan
melakukan percobaan. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik
kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong
untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin
gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan
dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada
kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka
konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang
baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang
baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari
miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep
ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang
instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu
membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara
keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi
pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang
muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan
bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi
struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan
rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
No comments